Selebung Madani, Pada 24 Juli Tahun 1984, Indonesia secara resmi meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Ratifikasi ini merupakan tonggak penting dalam sejarah hukum dan hak asasi manusia di Indonesia, sekaligus mencerminkan komitmen negara untuk mewujudkan kesetaraan gender dan menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan di berbagai sektor kehidupan.
Harapan dari Ratifikasi CEDAW
Ratifikasi CEDAW membawa harapan besar bahwa Indonesia akan menyelaraskan seluruh kebijakan, peraturan, dan praktik sosialnya dengan prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan gender. Dengan menjadi pihak dalam CEDAW, Indonesia secara hukum terikat untuk menjalankan 16 pasal substantif yang mencakup hak-hak perempuan dalam pendidikan, pekerjaan, kesehatan, keluarga, partisipasi politik, dan perlindungan hukum. Selain itu, Indonesia juga diwajibkan untuk secara berkala menyampaikan laporan pelaksanaan CEDAW kepada Komite CEDAW PBB.
Harapannya, keberadaan UU No. 7 Tahun 1984 akan mendorong pemerintah, lembaga legislatif, dan aparat penegak hukum untuk secara konsisten meninjau ulang dan merevisi peraturan perundang-undangan yang masih mengandung unsur diskriminatif terhadap perempuan. Ratifikasi ini seharusnya juga memperkuat gerakan masyarakat sipil dalam menuntut perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan di Indonesia.
Realitas dan Tantangan Implementasi
Namun dalam praktiknya, implementasi CEDAW di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan. Meskipun terdapat berbagai kemajuan seperti pengesahan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), serta berbagai program afirmatif untuk pemberdayaan perempuan, beberapa peraturan dan kebijakan nasional masih belum sepenuhnya selaras dengan prinsip-prinsip CEDAW.
Salah satu persoalan utama adalah masih adanya undang-undang dan regulasi yang memuat stereotype dan bias gender, serta memperkuat peran tradisional perempuan yang membatasi akses mereka terhadap pendidikan, pekerjaan, atau pengambilan keputusan politik. Misalnya, beberapa peraturan daerah mengatur moralitas perempuan secara diskriminatif, atau kebijakan yang tidak sensitif terhadap keragaman identitas perempuan dan kelompok rentan.
Di sisi lain, mekanisme pengawasan dan evaluasi pelaksanaan CEDAW di tingkat nasional masih lemah. Laporan berkala ke Komite CEDAW seringkali tidak melibatkan partisipasi luas masyarakat sipil dan kurang mencerminkan kondisi riil perempuan di akar rumput. Kurangnya sosialisasi terhadap isi dan prinsip-prinsip CEDAW di kalangan aparat pemerintah dan masyarakat juga turut menjadi hambatan besar dalam implementasi yang efektif.
Penutup: Jalan Panjang Menuju Kesetaraan
Ratifikasi CEDAW oleh Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 1984 merupakan langkah penting dan patut diapresiasi. Namun, antara harapan dan realitas, masih terdapat jurang yang harus dijembatani. Perlu komitmen politik yang kuat, reformasi regulasi yang berperspektif gender, serta keterlibatan aktif masyarakat sipil untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip CEDAW benar-benar menjadi panduan dalam kebijakan dan praktik pembangunan nasional.
Kesetaraan gender bukan sekadar jargon, melainkan komitmen konkret terhadap keadilan sosial yang harus diperjuangkan Bersama melampaui simbol ratifikasi menuju perubahan yang nyata dalam kehidupan perempuan Indonesia.
Edy Sanjaya
08 Agustus 2025 23:13:42
Semoga Allah SWT mencurahkan cinta dan kasih sayangnya kepada pemimpin dan semua perangkat desa selebung. ...